MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH SWT.
A. Definisi dan Konsep Allah SWT Menurut Islam
B. Definisi dan Konsep Manusia Menurut Islam
C. Hakikat dan Tujuan Diciptakan Manusia Menurut Islam
D. Hakikat dan Tujuan Ibadah Dalam Agama Islam
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak manusia dilahirkan di dunia ini, disadari atau tidak, sebenarnya
sudah mempunyai hubungan atau kontrak dengan Tuhan, terutama ihwal misi manusia
di muka bumi ini.1 Oleh manusia, Tuhan dikenal sebagai Sang Pencipta
(khalik), sementara manusia adalah ciptaan-Nya (makhluk). Tuhan juga dikenal
sebagai superior (Zat yang Maha Agung), sementara manusia adalah inferior
(hamba).
Relasi tersebut yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan
syari’at dan ritual. Seperti adanya perintah shalat, puasa, zakat, dan haji,
yang lahir karena termaktub di dalam teks suci al-Qur’an. Oleh sebab itu,
al-Qur’an diyakini sebagai kitab petunjuk untuk semua umat manusia, walaupun
kitab suci yang sudah turun 14 abad lamanya tersebut diwahyukan di tanah Arab.
Dengan adanya keyakinan seperti itu, menjadi wajar jika disaat pertama kali
wahyu al-Qur’an turun, yakni (QS. al-‘Alaq [96]:1-5),2telah mampu
memberikan gambaran bagaimana hubungan antara Tuhan dan manusia. Di dalam
susunan redaksi wahyu pertama tersebut, manusia (اإلنسان (telah disebut dua kali beriringan dengan
lafal بّر) Tuhan).
[1] Lihat, Sa’id Ramadhan
Al-Buthy, La Ya’tihil Bathil: Takkan
Datang Kebathilan Terhadap Al-Qur’an, penerj: Misbah, (Bandung: Penerbit
Hikmah, 2010), hlm. 163.
2Ibnu Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), hlm. 161-162.
Melihat wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad tersebut,
peneliti kemudian timbul pertanyaan, mengapa pada wahyu pertama itu al-Qur’an
menyebut kata Tuhan ( بّر
( dan manusia (اإلنسان (beriring hingga dua
kali. Hubungan seperti apakah yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an dalam
rangkaian susunan wahyu pertama tersebut? mengingat wahyu yang turun kepada
Nabi Muhammad tidak bisa lepas dari kondisi sosial dan budaya masyarakat Arab
pada saat itu.
Apabila melihat realitas masyarakat Arab pada saat itu mengenai hubungan
masyarakat atau manusia dengan Zat yang Maha Agung, ternyata masih kental
dengan keyakinan politeis (bertuhan banyak) dan marak dengan praktik serta
ritusritus penyembahan kepada berhala. Patung-patung yang mereka buat sendiri,
dan hal-hal besar yang sulit dijangkau manusia, seperti matahari dan bulan,
diyakininya sebagai Tuhan. Padahal, di dalam susunan redaksi QS. al-‘Alaq
[96]:1-5, Tuhan tengah memperkenalkan dirinya sebagai Sang Pencipta dan Sang
Pemurah. Hal tersebut bisa dilihat dari
redaksi menurut Quraish Shihab mengenai
tafsiran dari
3 Al-Qur’an Surat
Al-‘Alaq [96] ayat 1,2,3, dan 5 hal 479.
Al-Qur’an dan Terjemahan. Cetakan ke-7: Al-Mizan Publishing House.
QS. al-‘Alaq terutama pada ayat 1-5, al-Qur’an sedang membicarakan konsep
ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh manusia atau Nabi Muhammad.
Sementara jalan yang ditempuh. untuk mendapatkan-nya adalah dengan cara
membaca. Baik membaca alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri,
yang tertulis maupun tidak.4 Pernyataan Quraish Shihab di atas
kiranya menarik dijadikan peneliti sebagai pijakan untuk menganalisis lebih
jauh dari isi kandungan QS. al-‘Alaq tersebut. Diantara pertanyaan-pertanyaan
yang menggelitik adalah yang pertama, mengapa di dalam proses membaca, yang
dipasrahi oleh Tuhan ialah manusia, yang pada waktu itu wahyu al-Qur’an ditujukan
kepada Nabi Muhammad Saw. Mengapa bukan makhluk selain-nya.
Oleh sebab itu, menjadi menarik untuk ditelusuri lebih jauh bagaimana
sebuah teks qur’ani yang berbentuk verbal di saat pertama kali al-Qur’an turun
sehingga mampu mengubah realitas teologis dalam ruang lingkup masyarakat Arab
yang politeis. Sebagaimana diketahui, bahwa kemunculan teks al-Qur’an tidak
bisaterlepas dari kehidupan dan sejarah Muhammad sebagai utusan Tuhan.5
10 Dari sini peneliti berasumsi bahwa ada keterkaitan antara teks qur’ani yang
telah dibentuk oleh budaya Arab karena al-Qur’an diturunkan di kawasan Arab dan
Muhammad sebagai penerima wahyu. Di sisi lain, melalui sebuah teks al-Qur’an
ternyata mampu mengubah wajah masyarakat Arab yang pagan, tribal, dan jahiliah,
menjadi masyarakat yang madani memiliki peradaban maju.
4 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 433.
5 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Qur’an Terhadap
Agama Lain, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 15.
Hal di atas bertolak belakang dengan kondisi dunia modern seperti saat ini,
di mana telah banyak bermunculan sekelompok manusia yang mengatasnamakan
dirinya sebagai kelompok yang anti Tuhan atau kaum ateis. Kelompok ini menolak
adanya Tuhan sebagai pencipta alam raya. Mereka tidak percaya adanya zat yang
adikodrati yang mampu menciptakan bumi dan langit se-isinya.6
Kelompok ini memandang bahwa segala sesuatu bersifat rasio dan materi.
Karena kalau Tuhan memang ada, mengapa tidak bisa dilihat dan menampakkan
diri-Nya. Padahal, apabila melihat uraian selintas dari QS. al-‘Alaq
sebagaimana yang disebutkan peneliti di atas, wahyu pertama tersebut tengah
membicarakan relasi antara Tuhan dan manusia dan proses penciptaan.
Melihat problem tersebut peneliti tergelitik ingin mengkaji lebih jauh,
bagaimana dalam memaknai relasi Tuhan dan manusia di dalam QS. al-‘Alaq ayat
1-5, karena wahyu pertama tersebut di samping mengenalkan bagaimana sosok
Tuhan, juga mengenalkan ketauhidan yang berprinsip pada keyakinan monoteis.
Dengan demikian, sangat menarik apabila dilakukan sebuah penafsiran ulang
(re-interpretasi) terhadap QS. al-‘Alaq dengan cara pandang yang berbeda.
Dengan begitu, maka prinsip al-Qur’an sebagai kitab yang diperuntukkan kepada
semesta alam dapat ditafsirkan oleh siapapun. Tidak ada dikotomi penafsiran
terhadap ayat suci yang telah diturunkan 14 abad silam tersebut.7 12
Prinsip itu juga yang kemudian menjadikan al-Qur’an sebagai kitab suci.
6 Sayed Ali Ashger Razwy,
Muhammad Rasulullah Saw; Sejarah Lengkap
Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam menurut Sejarawan Timur dan Barat,
penerj: Dede Azwar, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), hlm. 31-21.
7 U Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual, Usaha Memaknai Kembali Pesan
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
definisi dan konsep Tuhan menurut islam ?
2. Bagaimana
definisi dan konsep manusia menurut islam ?
3. Apa hakikat
dan tujuan diciptakan manusia menurut islam ?
4. Apa hakikat
dan tujuan ibadah dalam agama islam ?
A. Tujuan
Adapun tujuan
utama penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan jawaban tentang beberapa rumusan masalah di
atas sebagai berikut:
1.
Mahasiswa
dapat memahami tentang definisi dan konsep Tuhan menurut Islam;
2.
Mahasiswa
dapat memahami definisi dan konsep manusia menurut Islam;
3.
Mahasiswa
dapat memahami hakikat dan tujuan diciptakan manusia menurut Islam;
4.
Mahasiswa
dapat memahami hakikat dan tujuan ibadah dalam agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi dan Konsep Allah SWT Menurut
Islam
Orang yang menuruti hawa nafsunya dan dipuja dalam hidupnya berarti telah
berbuat syirik, padahal sebenarnya menurut Islam hawa nafsu tunduk kepada
kehendak Allah SWT.
Lafal ilah dipakai oleh Fir'aun untuk dirinya sendiri, yang artinya: “Dan
Fir’aun berkata, wahai para pembesaraku tidak menyangka bahwa kalian mempunyai
i'lah selain diriku” Al-Qasas [28]:38.
Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam bentuk konkrit maupun
abstrak/ghaib. Al-Qur'an menegaskan bahwa Ilah bisa dalam bentuk mufi-ad
maupun jama'(ilah, ilahain, alihah). Ilah ialah sesuatu yang
dipentingkan, dipuja, dimintai, diagungkan dan diharapkan memberikan
kemaslahatan, dan termasuk yang ditakuti Karena mendatangkan bahaya (ancaman).
Di dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah [2]:163 menegaskan,
yang artinya: “Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain
Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang” . Ilah yang
dituju ayat di atas adalah Allah SWT, yang menurut ulama ilmu Kalam Ilah
di sini bermakna al-Ma'bud, artinya satu-satunya yang diibadahil disembah.
Sedang Al-Maududi memberi makna Al-Mahbub, Al-Marhub dan Al-Matbu', yaitu yang
dicintai, yang disenangi dan yang diikuti. Inilah yang disebut Tauhid
Uluhiyah, bahwa Allah SWT satu-satunya Tuhan yang diibadahi,
dicintai,disenangi dan diikuti.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat Ta-Ha[20]:14.
yang artinya: “Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku,maka
beribadahlah hanya kepadaku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku”, Dengan
demikian kalimat tauhid secara konprehensif mempunyai pengertian sebagai
berikut
La Khaliqa illa Allah = Tiada Pencipta selain Allah
La Raziqa ilia Allah = Tiada Pemberi rizqi selain Allah
La Hafidha illa Allah = Tiada Pemelihara selain Allah
La MaIika ilia Allah = Tiada Penguasa selain Allah
La Waliya ilia Allah= Tiada Pemimpin selain Allah
La Hakima illa Allah = Tiada Hakim selain Allah
La Ghoyata illa Allah = Tiada Yang maha menjadi tujuanselain
Allah
La Ma bzrda illa Allah. = Tiada Yang Maha disembah
selainAllah
Lafal Ilah pada kalimat tauhid menurut Ibnu Taimiyah memiliki pengertian
yang dipuja dengan cinta sepenuh hati, tunduk kepada-Nya merendahkan diri di
hadapan-Nya, takut dan mengharap kepada-Nya, berserah hanya kepada-Nya ketika
dalam kesulitan dan kesusahan, meminta perlindungan kepada-Nya, dan menimbulkan
ketenangan jiwa di kala mengingat dan terpaut cinta dengan-Nya karena Allah SWT
adalah yang mencipta dan memelihara. Inilah yang disebut Tauhid Rububiyah.
Lawan tauhid adalah syirik, artinya menyekutukan Allah SWT dengan
yang lain, mengakui adanya Tuhan selain Allah, menjadikan tujuan hidupnya
selain kepada Allah. Dalam ilmu Tauhid, syirik digunakan dalam arti
mempersekutukan tuhan lain dengan TuhanAllah SWT, baik persekutuan itu mengenai
dzat-Nya, sifat-Nya atau af'al-Nya, termasuk mengenai ketaatan ubudiyah
yang seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya saja.
Syirik merupakan dosa yang paling,besar yang tidak dapat diarnpuni, syirik
itu bertentangan dengan perintah Allah SWT, juga berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat dan martabat
manusia, serta membuatnya tak pantas menempati kedudukan tinggi yang telah
ditentukan Allah SWT. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah berfirman dalam
surat Al-Luqman [31]:13.8
8Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan
Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992). Hal. 63 dalam buku
Yunasril Ali. Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta: Zaman,
2012). Hal.10.
yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
wahai anakku, Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzhaliman yang amat besar”.
B.
Definisi
dan Konsep Manusia Menurut Islam
Dari dulu manusia tidak pernah kehabisan kata membicarakan dirinya sendiri.
Kalangan para ilmuwan filosof dan ulama telah banyak berbicara dan berdiskusi
mengenai manusia dan menghasilkan berbagai pendapat tentang manusia dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Ibnu Sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk social dan sekaligus sebagai makhluk
ekonomi. Sebagai makhluk social manusia tidak bisa hidup dengan baik tanpa ada
orang lain ini sebagai penyempurnaan jiwa manusia demi kebaikan
hidupnya.Sebagai makhluk ekonomi manusia selalu memikirkan dan menyiapkan
segala sesuatu untuk masa depannya terutama mengenai materi sebagai kebutuhan
jasmaninya.
Manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama secara fisik manusia
hampir sama dengan hewan membutuhkan makan minum kawin dan sebagainya. Dimensi
kedua manusia merniliki sejumlah emosi. Dimensi ketiga manusia
mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat manusia memilikinaluri
untuk menyembah kepada Tuhannya. Dimensi kelima manusia dikaruniai akal fikiran
dan kehendak bebas sehingga ia mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan.
Dimensi keenam manusia mampu mangenal dirinya sehingga ia menyadari siapa
pencipta dirinya, bagaimana historis penciptaannya, mengapa ia diciptakan dan
untuk apa ia diciptakan.
Di dalam Al-Qur an, Allah sebagai Dzat pencipta manusia, menyebutkan
beberapa istilah yang menunjuk kepada manusia,yaitu:
a. Bani Adam (Qs Al-A raf [7]:3). Manusia disebut bani Adam karena dilihat
dari aspek historis penciptaannya, yaitu makhluk ciptaan Allah yang merupakan
keturunan nabi Adam.
b. Basyar (Qs Al-Mukminun [23]: 33). Penyebutan ini sesuai dengan
sifat-sifat biologis manusia, yaitu makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat
fisik, kimia dan biologis dalam dirinya, yang membutuhkan makan, minum, dan
sebagainya.
c. Insan (Qs A1-Alaq [96]: 5). Ini menunjukkan manusia yang memiliki
sifat-sifat psikologis dan kecerdasan, yaitu makhluk yang berfikir dan mampu
meyerap ilmu pengetahuan.
d. An-Nas (Qs Al-Baqarah [2]:21). Dilihat dari aspek sosiologis, manusia
merupakan makhluk ciptaan Allah yang mempunyai sifat-sifat dan kecenderungan
untuk hidup berkelompok dengan sesamanya (bermasyarakat), sehinga disebut
makhluk sosial.
Jadi Al-Qur an telah menjelaskan, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Allah yang memiliki aspek-aspek biologis, psikologis dan sosiologis.
C.
Hakikat
dan Tujuan Diciptakan Manusia Menurut Islam
Segala sesuatu
yang ada di dunia ini merupakan penciptaan dari Allah yang Maha Kuasa. Termasuk
dari segala apa yang diciptakannya tidak satu pun memiliki tujuan dan manfaat.
Semut hewan yang kecil saja terdapat manfaat diciptakannya semut dalam islam.
Termasuk terhadap proses penciptaan manusia yang ada di muka bumi ini beserta
segala isi alam semesta.
Air yang mengalir dengan siklus di kehidupan manusia, hewan-hewan yang
terus berkembang sebagai pengelengkap hidup manusia, dan lain sebagainya.
Penicptaan tersebut Allah ciptakan semata-mata untuk kebaikan hidup manusia
pula.
Untuk bisa bersyukur dan menghayati betapa besarnya karunia Allah pada
manusia, maka itu perlu kiranya manusia mengetahui apa tujuan penciptaan
dirinya atau tujuan hidup menurut islam sesuai apa yang dikatakan oleh Allah.
Dengan mengetahui hakikat penciptaan manusia, maka manusia akan mengarahkan
hidupnya untuk tujuan hidup yang telah Allah tentukan serta berusaha sekuat
mungkin untuk mendapatkan akhir terbaik dari tujuan hidupnya. Berikut adalah
penjelasan mengenai tujuan penciptaan manusia :
A.
Mengabdi
Kepada Allah SWT Sebagai Illah
”Dan tidaklah
Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS
Adzariyat[51]:54 hal 417). Allah adalah Zat Yang Maha Agung yang menciptakan
manusia. Allah menciptakan manusia dengan kekuasaanya dan kemaha dahsyatannya
membuat manusia tidak ada pilihan selain dari mengabdi dan melakukan apa yang
Allah inginkan. Bahkan ketika memilih untuk tidak taat dan patuh pun manusia lah yang akan merugi.
Allah telah memberikan jalan terbaik dan dampak yang baik akan didapatkan oleh
manusia. Untuk itu akan sangat banyak manfaat beriman kepada Allah SWT yang
akan menyelamatkan bukan menyesatkan kita.
Konsep manusia menurut islam semata-mata untuk mengabdi atau melaksanakan
ibadah kepada Allah. Ibadah sendiri berasal dari kata Abada yang artinya adalah
sebagai budak. Untuk itu manusia hakikatnya adalah sebagai budak atau hamba
dari Allah. Seorang budak atau hamba tidak lain pekerjaannya adalah
mengikuti apa kata majikannya, menggantungkan hidup pada majikannya, dan
senantiasa menjadikan perkataan majikannya sebagai tuntunan hidupnya. Perintah
Allah untuk taat dan menyembah Allah adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah
agar manusia tidak merugi. Ketika manusia menyembah atau menjadikan hal lain
sebagai Illah atau Tuhannya, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa selain
kerugian. Untuk itu Allah memerintahkan manusia untuk beriman pada rukun iman
dan melaksankaan rukun islam sebagai tuntunan dasar islam.
Di zaman dahulu ada masyarakat yang menyembah berhala berupa patung.
Tentunya orang tersebut merugi karena patung yang merupakan batu atau benda
mati, tidak bisa berbuat apapun malah berbicara pun tidak bisa. Manusia yang
menjadikan kebebasan diri dan hawa nafsu sebagai tuhannya juga akan malah
merugi. Hawa nafsu dan kebebasan manusia tidak bisa menuntun manusia malah akan
menyesatkan. Untuk itu, Manusia seharusnya menjadi raja bagi kebebasan dan hawa
nafsunya bukan justru diperbudak. Contohnya sudah banyak, seperti minum-minuman
keras, pergaulan bebas, dan lain sebagainya membuat manusia akhirnya malah
tersesat dan terperosok. Bukan menjadi baik dan teratur hidupnya malah justru
sebaliknya.
B.
Menjadi
Khalifah fil Ard dan Tidak Berbuat Kerusakan di Muka Bumi
Tugas manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah sendiri bisa bermakna
pemimpin atau penggganti. Misi ini adalah hakikat manusia menurut islam yang
harus dilakukan. Untuk mengetahui apa sebetulnya makna khalifah maka perlu
memahaminya lebih dalam lagi dengan pendekatan ayat Al-Quran.
1. Manusia Menjadi Pemimpin-Pengelola di Muka Bumi
“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS : Al Baqarah[2]:30). Bentuk pengabdian manusia kepada
Allah salah satunya adalah menjalankan misi hidupnya sebagaimana yang telah
Allah berikan untuk menjadi Khalifah fil Ard. Khalifah artinya adalah pemimpin.
Tugas pemimpin adalah mengelola dan memperbaiki agar hal yang diatur dan
dipimpinnya menjadi baik. Pemimpin atau Khalifah bukan arti sebagai status yang
menjalankannya hanya orang-orang tertentu.Khalifah di muka bumi dilakukan oleh
semua orang dan di semua lingkup. Keluarga, pekerjaan, lingkungan sekitar,
masyarakat, dan negara adalah lingkup dari khalifah fil ard. Untuk menjalankannya
maka kita membutuhkan ilmu pengetahuan dan skill untuk bisa berkarya bagi
kelangsungan dan kelancaran kehidupan manusia di bumi menjadi seimbang atau
mengalami kerusakan.
2. Manusia Tidak Berbuat Kerusakan dan Melakukan Keadilan
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS.
Al-Qasas[28]:77). Sebagaimana ayat diatas maka manusia sebagai khalifah
dilarang untuk berbuat kerusakan, kejahatan yang mampu merusak keadilan dan kemakmuran
di muka bumi, termasuk menjaga pergaulan dalam islam yang sudah diatur untuk
umat islam. Jika kerusakan tetap dilakukan oleh manusia maka yang merugi adalah
manusia itu sendiri. Tentunya manusia yang menggunakan akal dan taat kepada
Allah akan sadar untuk tidak berbuat kerusakan di semua aspek kehidupannya. Apa
yang Allah berikan sudah banyak dan tidak ada kurang satu apapun.
3. Menegakkan Keadilan Antar Sesama Manusia
Sebagaimana yang disampaikan di ayat berikut, bahwa keadilan dan hak-hak
manusia perlu dijaga keadilan dan keseimbangannya oleh umat manusia. Menjadi
khalifah fil ard bukan hanya mengurus alam dan kondisi sendiri, melainkan juga
memperhatikan hak-hak hidup orang lain dan berlaku adil. Hal ini menjaga
kedamaian di muka bumi serta melangsungkan keadilan adalah nilai-nilai dasar
dari ajaran islam yang Rasulullah SAW ajarkan kepada umat islam. “Dan Syu’aib
berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”. (QS. Hud [11]:85)
C.
Mengejar
Tujuan Akhirat
Kehidupan di dunia adalah sementara. Untuk itu, dunia bukan tujuan akhir
dari kehidupan manusia dan juga bukan tujuan dari penciptaan manusia untuk
tinggal di bumi. Kehidupan sejati adalah di Akhirat nanti. Untuk itu Allah
senantiasa menyuruh melakukan kebaikan untuk mendapatkan pahala akhirat,
menyampaikan kebahagiaan surga dan penderitaan neraka, serta memotivasi di
setiap ibadah dan perilaku kebaikan dengan balasan pahala. Untuk itu Allah
menuntun manusia menuju akhirat dengan memberikan petunjuk agama. Fungsi agama
adalah untuk menuntun manusia agar tidak terlena dengan kehidupan sementara dan
senantiasa mengejar akhirat.
1. Allah Menyuruh untuk Berlomba-lomba Mengejar Pahala
Akhirat
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamuberada, pasti
Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu” QS Al Baqarah [2]:148). Dalam ayat di atas diketahui bahwasanya Allah
sendiri menyuruh manusia untuk berlomba-lomba mengejar pahala akhirat dengan
kebaikan. Segala kebaikan tersebut akan diganti dengan kehidupan yang sangat
baik yaitu di Surga.
Untuk itu, pahala akhirat bukan hanya simbol belaka namun sebagai credit
poin kehidupan manusia untuk mempersiapkannya hingga akhir hidup nanti. Allah
Maha Adil untuk menghitung poin tersebut sesuai dengan perilaku manusia ketika
di dunia.
2. Segala Kebaikan akan Dibalas Pahala untuk Kehidupan
Akhirat yang baik
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS An Nahl [16]:97). Apa
yang dilakukan manusia di muka bumi ini akan mendapatkan balasannya. Kebaikan
akan dibalas dengan kebaikan begitupun keburukan akan dibalas dengan keburukan.
Untuk itu, kebaikan dan keburukan manusia semuanya bukan Allah yang menentukan,
tetapi manusia itu sendiri mau memilih kehidupan akhir yang mana untuk
dipertimbangkan.
Manusia yang memilih kebaikan tentu Allah dengan adil bahkan membalasnya
lebih berkali lipat di akhirat kelak. Sedangkan manusia yang memilih jalan
keburukan dan kemaksiatan sebaliknya akan mendapatkan siskaan yang juga sangat
pedih.
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia hendaknya juga dapat menjaga amanatnya
dalam menjaga alam dan isinya. Manusia sememstinya memiliki akhlak dan perilaku
yang baik kepada sesama maupun makhluk hidup yang lain. (baca cara meningkatkan
akhlak terpuji)
Tujuan Penciptaan Manusia
Adapun tujuan utama allah SWT menciptakan manusia adalah agar manusia dapat
menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tugas utama manusia adalah
beribadah dan menyembah Allah SWT, menjalani perintahnya serta menjauhi
larangannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT berikut ini : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan
supaya mereka menyembah Aku.” QS Adz Zariyat [51]:56).
D.
Hakikat
dan Tujuan Ibadah Dalam Agama Islam
a. Pengertian
Ibadah
Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang
berarti pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Dari akar kata
yang sama kita mengenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun
makna kekurangan, kehinaan, dan kerendahan. Karena itu, inti ibadah ialah
pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk
pengagungan, penyucian dan syukur atas segala nikmat. Kata ‘abd diserap
ke dalam bahasa Indonesia menjadi abdi, seorang yang mengabdi dengan tunduk dan
patuh kepada orang lain. Dengan demikian, segala bentuk sikap pengabdian dan
kepatuhan merupakan ibadah walaupun tidak dilandasi suatu keyakinan. Kata
“Ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri” (Basyir, 1984:12). Adapun kata “Ibadah” menurut istilah
berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhoan Allah
dan mengharap pahala-Nya di akhirat” (Ash-Shiddiqy, 1954:4). Dari sisi
keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan manusia di dunia ini, yang
dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya
kepada Allah.
Jadi, semua tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus untuk mencapai ridha
Allah dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah
:
وَ مَاخَلَقْتُ الجِنَّ وَاْلَّاِنْسَ الَّالِيَعْبُدُوْنِ.
Tidaklah Kuciptakan jin dan
manusia melainkan untu mengabdi kepada-Ku, (al-Dzariyat [51]: 56). Dengan demikian, segenap tindakan
mukmin yang dilakukan sepanjang hari dan malam tidak terlepas dari nilai
ibadah, termasuk tindakan yang dianggap sepele, seperti senyum kepada orang
lain. Atau bahkan tindakan yang dianggap kotor atau tabu jika dituturkan kepada
orang lain, seperti buang hajat, melakukan hubungan seks, dan lain-lain.
Beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw. tentang pahala shalat, puasa, dan sedekah. Rasulullah saw. juga bersabda,
“Seseorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan lain, kemudian buahnya
dimakan burung, orang atau binatang ternak, semua itu menjadi sedekah baginya.”
b. Hakikat
Ibadah
Tujuan di ciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu
kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat
perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan kewajiban
terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Hakikat ibadah itu antara lain firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “Wahai
para manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan
telah menjadikan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (QS.
Al-Baqarah (2) : 21).
Adapun hakikat ibadah yaitu :
1.
Ibadah
adalah tujuan hidup kita.
2.
Melaksanakan
apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukkan dan perendahan diri
kepada Allah SWT.
3.
Ibadah
akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan
larangan-Nya.
4.
Cinta,
maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengandung makna mendahulukan
kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya :
mengikuti sunnah Rasulullah saw.
5.
Jihad
di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang
dicintai Allah).
6.
Takut,
maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis
makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian orang-orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang
mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itu tujuan
hidupnya akan terwujud.
c. Tujuan Ibadah
Ada lima tujuan
yang dicapai melalui pelaksanaan ibadah:
1.
Memuji
Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak, seperti ilmu, kekuasaan,
dan kehendak-Nya. Artinya, kesempurnaan sifat-sifat Allah tak terbatas, tak
terikat syarat, dan meniscayakan-Nya tanpa membutuhkan yang lain.
2.
Menyucikan
Allah dari segala cela dan kekurangan, seperti kemungkinan untuk binasa,
terbatas, bodoh, lemah, kikir, semena-mena, dan sifat-sifat tercela lainnya,
3.
Bersyukur
kepada Allah sebagai sumber segala kebaikan yang kita dapatkan berasal
dari-Nya, sedangkan segala sesuatu selain kebaikan hanyalah perantara yang Dia
ciptakan.
4.
Menyerahkan
diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara mutlak. Mengakui bahwa
Dialah yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri. Dialah yang yang
berhak memerintah dan melarang kita, karena Dialah Tuhan kita. Kita semua wajib
taat dan menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita adalah hamba-Nya. Tidak ada
sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun yang kami sebutkan di atas, dialah
satu-satunya yang Mahasempura. Dialah satu-satunya yang Mahasuci dari segala
cela dan kekurangan. Dan dialah satu-satunya pemberi nikmat yang sebenarnya,
serta pencipta segala kenikmatan. Karena itu, segala bentuk syukur layak
dipanjatkan hanya kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang layak ditaati dan
dijadikan tempat berserah diri secara tulus. Ketaatan kita kepada Nabi, imam,
pemimpin, agama, ayah, ibu, atau guru harus kita lakukan dalam bingkai ketaatan
kita kepada-Nya. Inilah sikap yang layak bagi seorang hamba di hadapan
Penciptanya Yang Mahaagung. Sikap semacam itu hanya boleh dilakukan kepada Dia
yang betul-betul nyat keagungan dan kebesaran-Nya.
d. Syarat
diterimanya Ibadah
Tidak semua tindakan manusia dianggap ibadah kecuali jika memenuhi dua
syarat berikut ini. Pertama, niat yang ikhlas, suatu perbuatan dinilai
ibadah kalau diniatkan sebagai ibadah. Rasulullah saw. bersabda, “Suatu suatu
amal hanya (akan dinilai sebagai ibadah) sesuai dengan niatnya, dan
masing-masing orang akan meraih sesuatu sesuai dengan niatnya.” (HR Bukhari dan
Muslim). Hussein Ateshin, pakar Islam asal Turki, mengatakan, “Suatu tindakan
dianggap ibadah hanya jika dimulai dengan niat, yakni secara mental kita harus
menyadari bahwa apa yang akan kita lakukan itu demi dan dalam kerangka
kepatuhan serta ketaatan kepada kehendak Allah Yang Mahakuasa.” Kedua, tidak
bertentangan dengan syariat. Bila bertentangan dengan syariat, suatu tindakan
tidak akan dianggap ibadah meskipun dilandasi dengan niat ibadah, misalnya
memperkosa, mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya. Semua itu tidak dianggap
ibadah meskipun hasil dari tindakan itu dipergunakan untuk kebaikan, misalnya
bersedekah dengan harta hasil korupsi. Allah berfirman, Janganlah kamu
campurkan yang hak dengan yang batil ... (al-Baqarah [2]: 42).
e. Macam-macam
Ibadah ditinjau dari berbagai segi
1.
Dilihat
dari segi umum dan khusus, maka ibadah dibagi dua macam:
a)
Ibadah
Khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nash
(dalil/dasar hukum) yang jelas, yaitu sholat, zakat, puasa dan haji.
b)
Ibadah
Ammah adalah semua perilaku baik yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT
seperti bekerja, makan, minum dan tidur sebab semua itu untuk menjaga
kelangsungan hidup dan kesehatan jasmani supaya dapat mengabdi kepada-Nya.
2.
Ditinjau
dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, ibadah ada dua macam:
a)
Ibadah
wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
b)
Ibadah
ijtima’i, seperti zakat dan haji.
3.
Dilihat
dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi tiga:
a)
Ibadah
jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa
b)
Ibadah
ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
c)
Ibadah
jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti pergi haji.
4.
Ditinjau
dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi menjadi:
a)
Ibadah
yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan perbuatan, seperti sholat,
zakat, puasa dan haji.
b)
Ibadah
yang berupa ucapan, seperti membaca Al-Qur’an, berdo’a dan berdzikir.
c)
Ibadah
yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membela diri,
menolong orang lain, mengurus jenazah dan jihad.
d)
Ibadah
yang berupa menahan diri, seperti ihrom, berpuasa dan i’tikaf (duduk di
masjid); dan
e)
Ibadah
yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang atau membebaskan
hutang orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan dari
pembahasan tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan ada beberapa hal yang dapat ditarik
kesimpulan sekaligus jawaban dari rumusan masalah yang diangkat :
1.
Manusia
sudah mempunyai hubungan atau kontrak dengan Tuhan, terutama ihwal misi manusia
di muka bumi ini. Oleh manusia, Tuhan dikenal sebagai Sang Pencipta (khalik),
sementara manusia adalah ciptaan-Nya (makhluk). Tuhan juga dikenal sebagai
superior (Zat yang Maha Agung), sementara manusia adalah inferior (hamba).
2.
Dengan
adanya keyakinan, menjadi wajar jika disaat pertama kali wahyu al-Qur’an turun,
yakni (QS. al-‘Alaq [96]:1-5 hal 479),telah mampu memberikan gambaran bagaimana
hubungan antara Tuhan dan manusia. Di dalam susunan redaksi wahyu pertama
tersebut, manusia (اإلنسان
(telah disebut dua kali beriringan dengan lafal بّر)
Tuhan).
3.
Tujuan
penciptaan dirinya atau tujuan hidup menurut islam sesuai apa yang dikatakan
oleh Allah. Dengan mengetahui hakikat penciptaan manusia, maka manusia akan
mengarahkan hidupnya untuk tujuan hidup yang telah Allah tentukan serta
berusaha sekuat mungkin untuk mendapatkan akhir terbaik dari tujuan hidupnya.
E.
Saran
1. Hubungan antara Tuhan dan manusia tidak akan pernah habis
dikupas. Relasi keduanya bisa didapatkan salah satunya dengan melakukan
penafsiran melalui ayat suci al-Qur’an. Peneliti menyadari masih banyak
kekurangan di dalam penelitian ini, mengingat penafsiran sendiri tidaklah final
(mutlak). Dengan melihat pembahasan penafsiran relasi Tuhan dan manusia di
dalam QS. al-‘Alaq ayat 1-5, disarankan supaya ada penelitian lebih lanjut
mengenai tema yang sama atau tema lain yang masih berkaitan dengan QS.
al-‘Alaq. Ikhtiar penafsiran yang dilakukan oleh peneliti sendiri hanya
sebagian kecil dalam menangkap pesan Tuhan. Peneliti optimis jika banyakhasil
penafsiran yang dilakukan oleh para pengkaji al-Qur’an, maka tidak ada 113 klaim
lagi bahwa tafsir saya yang paling benar. Jika pemahaman seperti itudapat
diaplikasikan dengan baik, maka khazanah atau kajian terhadap studitafsir akan
terus berkembang, terutama dalam mengungkap makna dansimbol-simbol dari ayat
al-Qur’an.
2. Di dalam QS. al-‘Alaq masih banyak tema yang bisa
dijadikan sebagai bahan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, disarankan
penelitian terhadap tema relasi Tuhan dan manusia bisa ditelusuri lebih lanjut
agar mendapatkan pemahaman yang utuh (holistik) terhadap penafsiran ayat suci
al-Qur’an. Banyak pendekatan dan cara pandang dalam menafsirkan sebuah surah.
Diantaranya bisa ditinjau dari aspek\filsafat, analisis wacana, politik,
hermeneutik dan pemikiran para mufasir. Dengan begitu, maka akan memperkaya
pemahaman terhadap penafsiran al-Qur’an, dan juga akan menambah referensi bagi
generasi berikutnya untuk melakukan kajian serupa.
Komentar
Posting Komentar